Bab II
Pembahasan
Pendidikan merupakan proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Namun tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan. Banyak faktor yang mengindikasikan bahwa pendidikan di Indonesia nampak tertinggal bangsa lain.
Darmaningtyas pada bukunya yang berjudul Pendidikan yang Memiskinkan (2004, halaman 2) berpendapat bahwa orang tua zaman dahulu menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang diidealkan sebagai sarana untuk meraih “kepintaran dan kemandirian.” Misalnya, tercermin pada wasiat kebanyakan orangtua Jawa kepada anak-anak mereka, kabeh kuwi kudu sekolah ben pinter. Yen pinter iso golek pangan dewe (kalian semua harus bersekolah, biar pintar. Kalau pintar nanti kalian bisa hidup mandiri). Begitu sederhana makna pendidikan yang ditekankan pada orang tua zaman dahulu, namun memiliki makna yang sangat mendalam. Maka dari itu pendidikan mempunyai tempat dan makna yang sangat penting pada kehidupan manusia. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara yang merupakan Bapak Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan itu perlu ditanamkan sejak dini pada setiap pribadi manusia. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan tetapi juga menjalankan suatu fungsi tertentu dan hal tersebut dapat diperoleh dari pendidikan.
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dibahas perihal pendidikan dengan tegas yaitu pasal 31 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pada Undang-Undang tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa pendidikan menjadi hak setiap warga negara dan bahkan setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan.
Banyak faktor yang mengindikasikan mengapa pendidikan Indonesia nampak tertinggal. Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini menyatakan bahwa ketertinggalan tersebut dikarenakan : pertama, desain pendidikan Indonesia yang belum tepat terkait dengan rancangan undang-undang pendidikan dengan implementasi yang tepat sasaran. Selanjutnya tentang kurikulum pendidikan yang terlalu cepat berubah-ubah, contohnya dari Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Ini mengambarkan bahwa peserta didik laksana kelinci percobaan.
Pendidikan identik sebagai barang yang mahal dan tergolong mewah mengakibatkan masyarakat tidak mudah untuk menjangkaunya. Tercitrakan dengan sulitnya orang miskin dalam mengakses pendidikan yang mampu dijangkau dan juga berkualitas. Padahal, sesungguhnya orang miskin pun perlu mendapatkan akses pendidikan. Tidak ada alasan untuk menolak orang miskin, semestinya ada pengecualiaan tersendiri bagi orang miskin.
Dengan adanya berbagai alasan diatas tidak bisa dipungkiri lagi sejatinya pendidikan merupakan suatu hal yang penting. Setiap lapisan masyarakat dari berbagai kalangan berhak merasakan pendidikan, karena pendidikan adalah suatu usaha dan proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri yang nantinya akan dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam bukunya H.A.R Tilaar (2003, halaman 133) Kekuasaan yang tidak terbatas bukan hanya dimiliki oelh pemerintahan yang dictator tetapi juga telah memasuki dunia kebudayaan dan pendidikan. Proses pendidikan ternyata sering sekali digunakan untuk memperkuat atau melanggengkan struktur kekuasaan dengan mempertahankan ideology dan hegemoni Negara (Antonio Gramsci)
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dewasa ini, batas-batas kekuasaan pemerintah pusat dan daerah perlu dirumuskan agar pendidikan tetap merupakan upaya pengembangan potensi manusia untuk mewujudkan individualitasnya.
Kekuasaan dalam pendidikan dan kekuasaan bertemu dalam pertemuan-pertemuan edukatif. Kedua kekuasaan tersebut harus mempunyai titik tolak yang sama agar tidak saling berbenturan. Itulah Etika Pendidikan Nasional yang berdasarkan Moral Pancasila.
Benny Susetyo (2005, Halaman 166) menyebutkan bahwa Kita masih terjebak untuk membangun monument kekuasaan dan melupakan hal yang mendasar, yakni mendidik manusia untuk merdeka. Mengapa semua itu terjadi? Jurgen Habermas mengatakan bahwa selama ini manusia modern telah terjebak pada pola mekanistis. Akibatnya selama ini kita tidak sadar bahwa kita hanya menjadi instrumen belaka, baik instrumen kekuasaan maupun instrument teknologi.
Padahal sebagai manusia, kita telah diberikan kehendak bebas oleh Tuhan untuk menjadi manusia merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang menjadi dirinya sendiri dan menjadi pengendali instrumen tersebut, bukan menjadi budak dan dikendalikan instrumen yang diciptakannya sendiri. Dan saat ini, jika kerisauan-kerisauan diatas tidak segera disadari, maka bangsa ini akan mengalami keterasingan , situasi yang membuat moralitas diambang kehancuran
a) Bagaimana Negara mengatur dan menjamin mutu pendidikan di Indonesia?
Mengingat fakta globalisasi yang menuntut persaingan ketat itu, pemerintah Indonesia telah membuat rencana-rencana strategis untuk bisa turut bersaing. Salah satunya adalah target strategis Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), bahwa pada tahun 2025 diharapkan mayoritas bangsa Indonesia merupakan insan cerdas komprehensif dan kompetitif (insane kamil). Visi jangka panjang tersebut, kemudian ditempuh melalui Visi Kemdiknas periode 2010 s.d 2014, yaitu; Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan Nasional untuk Membentuk Insan Indonesia Cerdas Komprehensif, dan dijabarkan dengan kelima misi Kemdiknas yang biasa disebut “5 (lima) K”, yaitu: meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan; meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan; meningkatkan kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; meningkatkan kesetaraan memperoleh layanan pendidikan; dan meningkatkan kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan, sudah banyak program yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh Kemdiknas, salah satunya adalah Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Program SBI ini berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, dan dilaksanakan oleh keempat Direktoratnya, yaitu: Direktorat Pembinaan TK dan SD, Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Pembinaan SMA, dan Direktorat Pembinaan SMK.
Secara definitif, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Kedelapan aspek SNP ini kemudian diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, dan diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota organization for economic co-operation and development (OECD) dan/atau negara maju lainnya, yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, serta diyakini telah mempunyai reputasi mutu yang diakui secara internasional. Dengan demikian, diharapkan SBI mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjukkan kepada masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai strategi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kedelapan SNP di atas disebut Indikator Kinerja Kunci Minimal (IKKM). Sementara standar pendidikan dari negara anggota OECD disebut sebagai unsur x atau Indikator Kinerja Kunci Tambahan (IKKT), yang isinya merupakan pengayaan, pendalaman, penguatan dan perluasan dari delapan unsur pendidikan tersebut.
b) Mengapa biaya pendidikan di Indonesia terlalu mahal dan hampir tidak terjangkau oleh kalangan menengah kebawah?
Keadaan demikian, memang sebuah elegi sekaligus menjadi ironi yang memprihatinkan, sebab bangsa ini bisa maju tentunya dengan pendidikan. Tapi, kesempatan menikmati pendidikan formal hanya untuk orang-orang berduit, konstitusi memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, namun dalam ranah realitas, jelas menjadi fakta sebuah ketidakadilan.
Biaya sekolah yang mahal menjadi berita yang traumatik bagi warga yang tidak mampu, walaupun mereka sadar bahwa mengikuti pendidikan menjadi bagian hak setiap warga negara. Tapi ketidakberdayaan akibat masih bergelut dengan kemiskinan, menjadi sebuah fakta anak-anak bangsa yang tidak bersekolah atau putus sekolah.
Biaya sekolah, kok mahal…! Bukankah sekolah gratis? Tetapi kenapa dibilang mahal? Benar, sekolah SD dan SMP gratis, sebab masuk wajib belajar 9 (sembilan) tahun yang merupakan program pemerintah.
Anehnya, sudah jelas seleksi masuk SMA harus melalui jalur NEM, namun masih saja ada SMA memakai jalur lain, semakin ironis pula, ada istilah sisa jatah bangku yang menjadi rahasia umum bagi SMA-SMA di bawah naungan Pemko Medan. Dapat dibayangkan untuk orang miskin tak mungkin lagi masuk dalam sekolah tersebut. Akhirnya biarpun nilai bagus, tapi kemudian harus gigit jari.
Demikian halnya sekolah dengan perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang telah berubah status menjadi BHMN, perubahan status PTN dimaksud bahwa perguruan tinggi tersebut tidak lagi menerima subsidi operasional dari pemerintah, sehingga PTN berstatus BHMN mencari sendiri pendanaan operasionalnya dari mahasiswa.
Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ditambah lagi uang sumbangan ini dan itu padahal sebagian mereka sudah lulus melalui jalur ujian masuk bersama dan undangan.
Bila pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Di negara-negara maju, bahkan di Malaysia, masih relatif terjangkau, juga banyak memiliki PT yang bermutu, biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya.
Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka, tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.
Gambaran demikian, seolah menerjemahkan kepada publik bahwa anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya berhak sekolah sampai setingkat SMP saja. Akhirnya yang miskin tak beranjak dari kesmiskinannya, yang bodoh tak keluar dari lingkaran kebodohan yang mengungkungnya.
Calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi negeri membuat traumatis bagi rakyat yang tak tak mampu. Mereka tak mungkin siap menanggung beban biaya pendidikan yang harganya mahal. Sewajarnya memang komersialisasi pendidikan yang selalu diributkan oleh mahasiswa.
Pendidikan saat ini udah jadi barang mewah. Boleh dibilang pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier aja, mahal sungguh mahal. tentunya cuma mereka yang berkantong tebal yang bisa nangkring di PTN. Sementara buat kebanyakan rakyat negeri ini yang memiliki penghasilan rata-rata yang masuk kategori kelas menengah ke bawah, bagai pungguk naik ke bulan alias hanya merajut mimpi saja.
Biaya pendidikan yang mahal, sebuah anomali dari tujuan bangsa yang termaktub dalam konstitusi negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era liberalisasi pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang.
Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara, ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.
Persoalan biaya pendidikan yang mahal, kiranya menjadi perhatian dan pemikiran bagi pemerintah pusat dan daerah. Marilah kita memikirkan lagi kebijakan pendidikan mahal ini, apakah masih perlu kita lanjutkan atau dilakukan perubahan.
Dengan kebijakan mahal ini jangan harap akan ada transformasi dari kalangan bawah menuju kondisi yang lebih baik. Hendaknya pemerintah menyadari bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan aksesnya.
Apapun ceritanya, melalui pendidikanlah tonggak perjuangan bangsa menuju kemajuan peradaban dapat dicapai. Tanpa pendidikan yang baik, tata aturan dan etika kehidupan akan kacau, krisis moral akan merebak, hingga menimbulkan gangguan sistem ekonomi yang mengarah pada kelumpuhan stabilitas negara.
c) Apakah program sekolah yang hanya sampai tamatan SMK bisa menjadi solusi langkah antisipasi keterpurukan pendidikan di Indonesia?
Program pemerintah sekarang adalah mengoptimalkan perbandingan jumlah SMK dan SMU; 70% berbanding 30%. Di Indonesia sekarang ini lebih banyak SMU dari SMK. Hal inilah yang ingin di ubah oleh pemerintah dengan memperbanyak SMK dibandingkan SMU. Hal ini dilakukan oleh pemerinah seiring dengan tuntutan pasar tenaga kerja dan peta pengangguran di Indonesia. Tingkat pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan dari SMU. Hal ini terjadi karena SMU adalah pendidikan keilmuan dan kurikulumnya tidak diorientasikan kepada kurikulum terapan berorietasi siap kerja.
Dalam rancangan kurikulum terbaru SMK maka kurikulum SMK diarahkan kepada mata-mata ajar yang bernunsa terapan dengan orientasi siap kerja. Pemerintah bahkan membuka peluang selebar-lebarnya peluang untuk mendirikan SMK untuk seluruh bidang kejuruan yang memiliki prospek pekerjaan bagi lulusannya.
SMK yang sekarang sudah banyak dibuka di Sumatera Utara adalah SMK Komputer, SMK Teknologi Industri, SMK Bisnis Manajemen, SMK Pertanian, SMK Perikanan, SMK Pariwisata SMK Kerajinan Tangan dan lain-lain.
Adanya Kunjungan Dunia Usaha dan Dunia Industri serta uji kompetensi menjadi satu kekuatan bagi SMK untuk mengenalkan diri kepada pasar tenaga kerja, sehingga siswa/i yang lulus dari SMK diharapkan dapat terjun kepasar tenaga kerja dan memiliki competitive adventage. Di tengah lesunya kemampuan daya serap tenaga kerja maka SMK juga memegang peranan dengan orientasi untuk menghasilkan entrepreneurship yang baru dikalangan masyarakat. Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan yang lebih berorientasi keahlian ini menjadi sebuah peluang usaha bagi lulusan SMK yang tidak ingin melanjut.
Seiring dengan visi dan misi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan maka Sekolah Menengah Kejuruan diharapkan mampu menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan iklim investasi untuk skala mikro dan kecil di Indonesia. Dengan tujuan untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja dan membangun jiwa wirausaha maka peranan SMK menjadi sangat dibutuhkan di tengah masyarakat.
d) Siapakah yang seharusnya bertanggung jawab dalam menangani masalah pendidikan yang ada di Indonesia ini?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’
Bab III
Kesimpulan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Dengan kata lain “Orang miskin tidak boleh sekolah”.
Pemerintah harus dengan jelas dan tegas untuk menangani masalah pendidikan yang semakin hari semakin mahal ini. Menidak tegas para pelaku jual beli jatah kursi perguruan tinggi. Pengelolaan SDM pada pemerintah khususnya yang bergerak dibidang pendidikan harus lebih maksimal dan perlu peningkatan mutu pada SDM tersebut.
Daftar Pustaka
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan pendidikan: suatu tinjauan dari perspektif studi cultural. IndonesiaTera. Anggota IKAPI. Magelang.
Darmaningtyas. 2004. Pendidikan yang Memiskinkan. Galang Press (Anggota IKAPI). Yogyakarta.
Susetyo, Benny. 2005. Politik Pendidikan Penguasa. PT LKiS Pelangi Aksara. Yogyakarta.